Share

BONDOWOSO – Program kenaikan honor guru ngaji dari semula Rp 800 ribu menjadi Rp 1.500 ribu mendapat tanggapan negatif dari beberapa tokoh agama. Salah satunya oleh KH. Ali Rohbini, Pengasuh PP. Bustanul Ulum Pekauman, Grujugan.

“Jadi kalau dibatasi santrinya harus minimal 10 saya kurang setuju. Lebih baik pemkab memutuskan untuk tidak dibatasi,” ungkapnya Kamis (25/7).

Ia menilai batasan minimal 10 santri bagi calon penerima honor tidak adil. Menurutnya, banyak guru ngaji yang telah mengajar sejak lama namun santrinya tidak sampai 10 anak.

“Kasihan kalau mereka tidak memperoleh juga. Karena memang banyak guru yang sudah ngajar berpuluh-puluh tahun hanya berbekal ikhlas. Memang muridnya sedikit tidak sampai 10,” terangnya.

KH. Rohbini sangat menyayangkan keputusan Pemkab Bondowoso yang dianggapnya tidak proporsional. Ia meminta agar jasa guru ngaji yang memiliki santri kurang dari 10 juga dipikirkan.

Baca JugaSoal Kenaikan Honor Guru Ngaji, F- PKB Minta Bupati Tidak Batasi Jumlah Santri

“Kasihan guru-guru ngaji yang santrinya lima atau di bawah sepeuluh itu kan perlu dipikirkan juga. Seharusnya pemerintah itu memikirkan yang kecil,” tuturnya.

Pihaknya juga menyatakan sangat mendukung upaya DPRD agar Pemkab Bondowoso tidak membatasi batas minimum jumlah santri.

“Tentu saya mendukung. Karena itu yang namanya adil. Kalau bisa jangan sampai dibatasi,” pungkasnya.

Berdasarkan temuan di lapangan, ditemukan salah seorang guru ngaji yang sudah mengajar bertahun-tahun. Namun saat ini santrinya tidak sampai 10 anak. Yakni Mushalla Nurur Fatah di Desa Pakuniran, Maesan. Di sana telah berlangsung proses belajar mengajar sekitar 8 tahun. Jika aturan batasan minimum santri tetap digunakan, maka bisa dipastikan guru ngaji ini tidak akan dapat honor. (abr)