Share

BONDOWOSO – Mayoritas pengrajin usaha kuningan di Desa Cindogo, Tapen terpaksa harus menghentikan produksinya. Para pengrajin harus pasrah gulung tikar karena sepi pembeli semenjak adanya pandemi Covid-19 melanda Indonesia, tak terkecuali Bondowoso.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, jumlah toko pengrajin yang ada di desa tersebut, saat ini hanya tinggal tiga toko saja. Padahal sebelumnya ditempat tersebut terdapat tujuh toko pinggiran yang memasarkan berbagai hasil kerajinan kuningan dengan berbagai bentuk.

Salah satu pengrajin Kuningan yang masih tetap bertahan adalah keluarga Abdullah. Selama masa pandemi usahanya sangat sepi dari pembeli. Bahkan pernah pada awal masuknya pandemi ke Indonesia, beberapa bulan tidak ada pembeli sama sekali.

“Selama hampir tiga bulan gak ada sama sekali pembeli, saat habis lebaran tahun lalu,” terang Nyonya Abdullah, Selasa (19/3/2021).

 

Baca Juga : Tidak Ada Pelanggaran Prokes Dalam Acara Nanyi Bersama dengan Plt Ketum PSI

 

Dirinya juga menjelaskan, dari sepinya para pembeli, membuat pihaknya baru memproduksi kuningan kalau sudah ada pesanan dari luar. Serta ketika mendapatkan rejeki tambahan pihaknya baru akan memproduksi, digunakan sebagai stok cetakan. “Jadi cetakannya itu yang lama. Bahkan bisa mencapai satu bulan prosesnya,” terangnya.

“Kalau kuningannya murah, dalam satu kilonya paling mahal Rp 55 ribu. Tapi cara kerjanya yang susah. Serta prosesnya yang membutuhkan waktu yang lama. Itu yang membuat harga kerajinan ini lumayan tinggi,” lanjutnya.

Lebih lanjut, dirinya mengaku untuk hasil dari kerajinan kuningan yang diproduksi harganya berfariasi. Dari harga Rp 125 ribu untuk harga paling rendah, hingga Rp 6 juta untuk harga paling tinggi. Menyesuaikan dengan ukuran barang yang diminta pelanggan.

Walaupun masih sepi dari pembeli, dirinya mengaku terus melakukan inovasi terhadap karyanya. Seperti kuningan dengan dilengkapi warna warni yang menambah ciamiknya barang tersebut. Hal tersebut membuat para pengrajin lainnya juga mengeluarkan inovasi serupa agar barangnya laku.

“Untuk inovasi itu kan butuh biaya tambahan. Nah yang lain mau niru juga, sementara harga jualnya semakin menurun ditengah pandemi. Itu yang membuat banyak toko disini gulung tikar,” pungkasnya. (abr)