Share

BONDOWOSO – Kebebasan pers dalam menjalankan tugas dan fungsinya menjadi perhatian tersendiri bagi insan pers di Bondowoso. Kendati begitu, kebebasan itu bukan berarti tanpa batas. Ada kaidah dan etika yang harus dipegang teguh insan pers saat bekerja.

Hal itu mengemuka dalam diskusi ringan yang digelar oleh tiga aosiasi profesi di Bondowoso yaitu PWI, AJI dan IJTI Tapalkuda. Diskusi yang digelar itu juga menggandeng Diskominfo Bondowoso dan digelar di aula Mahardika, Rabu (3/5/2017).

Friska Kalia, Ketua AJI Jember dalam kesempatan tersebut mengungkapkan bahwa Pers Indonesia masih memiliki banyak tantangan untuk mewujudkan pers yang bebas dan berpihak pada publik. Dalam penelitian indeks kebebasan pers yang dilakukan Dewan Pers di 24 Provinsi di Indonesia pada Januari – Oktober 2016 menunjukkan temuan bahwa indeks kemerdekaan pers di Indonesia adalah ‘agak bebas”. Indikatornya adalah mengukur campur tangan atau intervensi negara yakni kebebasan dari kriminalisasi pers, intimidasi, sensor serta kebebasan berserikat.

Sementara di tingkat provinsi kebebasan pers mengalami kendala khususnya menyangkut ketergantungan media terhadap sumber dana dari pemerintah daerah dalam bentuk kerjasama pemasangan iklan yang sedikit banyak mempengaruhi konten berita dari ruang redaksi. Maka penegakan kode etik dan independensi media kini menjadi tantangan yang harus dibuktikan oleh media.

Kebebasan pers juga kerap kali berhubungan langsung dengan etika para jurnalis saat menjalankan tugas. Mesti dipahami bahwa kebebasan pers bukanlah alat atau baju yang bisa digunakan oleh pewarta untuk bertindak semena – mena atau arogan saat melaksanakan tugas.

“Beberapa kasus kekerasan yang diterima oleh jurnalis juga disebabkan karena jurnalis tak mematuhi etika saat bertugas. Meskipun begitu, kekerasan pada jurnalis tak bisa juga dibenarkan,” ujarnya.

Diskusi yang digelar AJI Jember, IJTI Tapalkuda dan PWI Bondowoso ini membahas secara mendalam tentang apa dan bagaimana kebebasan pers itu serta bagaimana jurnalis tetap bebas tanpa melanggar batas – batas kebebasan itu sendiri. Bebas tapi terikat dengan kode etik dan kaidah – kaidah yang telah disepakati bersama.

Apalagi jelang Pilbub Bondowoso 2018 mendatang, menjadi tantangan bagi jurnalis untuk menjaga independensi dan netralitas. Berkaca pada Pilkada di Jakarta dimana hoax merajalela dan kampanye hitam yang melibatkan media sangat memprihatinkan.

AJI Jember, IJTI dan PWI Bondowoso sepakat bahwa pers bebas beretika. Tentu saja jurnalis harus patuh kode etik, bebas dari kepentingan sebuah golongan, independen serta tidak arogan dan semena mena.

Peringatan World Press Freedom Day tahun 2017 di Indonesia merupakan peringatan Kemerdekaan Pers Dunia yang ke 26 dan pertama kali digelar di Asia setelah 15 tahun diselenggarakan di Negara – negara Eropa, Amerika, Amerika Latin dan Afrika.

Inti dari peringatan ini adalah untuk memperingati prinsip-prinsip dasar kemerdekaan pers di dunia yakni kebebasan mendapatkan informasi sebagai kebebasan dasar dan hak asasi manusia. Melindungi kebebasan pers dari sensor serta memastikan keamanan praktik-praktik jurnalisme.

“Dipilihnya Indonesia oleh UNESCO sebagai tuan rumah tahun ini tentu karena beberapa faktor. Selain karena Indonesia dianggap salah satu negara yang memberi kebebasan pada media, juga karena telah diselesaikannya sejumlah kasus kekerasan dan pembunuhan pada jurnalis,” pungkasnya.

Selain Friska Kalia, kegiatan tersebut juga dihadiri Ketua PWI Bondowoso Sugiyanto, perwakilan IJTI Tapalkuda Rizky Amirul Ahmad serta Kadiskominfo Haeriyah Yulianti. Sebagai pamateri Chuk S Widharsa dari Detik.com. (esb)