Share

BONDOWOSO – Isteri Presiden ke-4 Republik Indonesia mendiang Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid melestarikan pemikiran plurarisme yang merupakan ciri khas pemikiran Gus Dur. Sinta memiliki cara tersendiri untuk mengajak rakyat kecil untuk memahami dengan mudah keberagaman atau pluralisme yang saat ini kian tergerus.

Seperti yang ia sampaikan saat berdialog dalam kegiatan buka bersama bersama kaum duafa di PP Mambaul Ulum, Desa Tangsil Kulon, Kecamatan Wonosari, Minggu (18/6/2017) sore menjelang buka puasa.

Dengan metode interaktif, Sinta yang tetap berada di atas kursi rodanya itu meminta warga yang hadir untuk menyebutkan apa saja perbedaan yang ada di Indonesia. Sontak warga yang hadir dengan antusias menyebutkan satu per satu perbedaan, mulai dari agama, suku, kelas sosial serta bedanya warna kulit antar satu dan lainnya.

“Di antara suku madura di sini, ada yang dari Padang? Papua? Bapak ibu semua, sejak lahir kita ini sudah berada di tengah masyarakat yang berbeda (pluralisme) seperti ini. Setiap dari kita pasti dilahirkan dalam kondisi masyarakat yang seperti ini,” ujar Sinta.

 

Baca Juga : Radikalisme Tumbuh Subur, Ini Penyebabnya

 

Dalam kesempatan tersebut, Sinta juga menanyakan kepada warga yang hadir mengenai dasar negara dan semboyan Bhinneka Tungal Ika yang harus di pelihara. Sinta mengatakan, warga Indonesia bukan saja mereka dari suku-suku yang sudah ada sejak sebelumnya, tetapi juga ada dari suku bangsa lainnya yang lahir secara turun-temurun di Indonesia, sehingga dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika mereka adalah saudara.

“Di negara ini banyak sekali perbedaan. Ada orang Cina, Arab tapi semuanya tinggal di Indonesia kan? Jadi mereka adalah saudara sebangsa dan setanah air. Apakah kalau mereka saudara boleh bertengkar? Saling main kekerasan? tentu tidak boleh,” papar Sinta.

Menurut Sinta, meski pun berbeda suku, agama atau pun keyakinannya, sesama warga bangsa seharusnya bersikap rukun, saling menghormati, menghargai dan tolong menolong. Berdasarkan ajaran itu pula, imbuhnya, dirinya terus menyelenggarakan kegiatan buka maupun sahur bersama dengan kaum pinggiran yang luput dari perhatian banyak orang, termasuk dengan warga dari agama dan keyakinan yang berbeda.

Selama menjalankan program tersebut, Sinta mengakui sudah berapa kali melaksanakannya di tempat kumuh seperti di kolong jembatan bersama para pemulung. Hal itu dilakukan dengan didasari oleh rasa persaudaraan sesama anak bangsa, sekaligus dirinya ingin mengingatkan umat muslim mengenai makna dan hakikat puasa yang sesungguhnya.

“Maka, saya ajak saudara semua untuk berbuka bersama sebagai ungkapan rasa nikmat, rasa sayang sebagai saudara,” pungkasnya.

Acara tersebut dipungkas dengan pembagian 100 paket sembako kepada perempuan duafa tua renta yang telah ditinggal suami meninggal dunia. Kaum duafa tersebut berasal dari tiga kecamatan yaitu Wonosari, Tenggarang dan Tamanan. (abr/esb)