Menjawab Stigma Perempuan dalam Kepengawasan Pemilu
- 16 April 2019
- 0
Pemilihan Umum yang dilaksanakan beberapa tahun sekali untuk menjaga keberlangsungan pemerintahan yang sistematis tentunya tidak serta merta mengadakan pemilihan begitu saja. Dibalik adanya pemilihan tersebut ada beberapa hal yang harus terpenuhi salah satu diantaranya ialah Badan Pengawas Pemilu. Lembaga tersebut memiliki tugas antara lain mengawasi persiapan penyelenggaraan, mengawasi tahapan penyelenggaraan, mengawasi pelaksanaan putusan, mengelola, memelihara dan merawat arsip atau dokumen serta memantau atas pelaksanaan tindak lanjut penanganan pelanggaran pidana pemilu.
Kegiatan pemantauan Pemilu di Indonesia sudah mulai digagas sejak tahun 1997 yang diinisiasi oleh Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Namun, aktifitas pemantauan oleh KIPP bersama dengan lembaga pemantau Pemilu lainnya baru mulai efektif berjalan sejak Pemilu 1999, lantaran pada masa orde baru sangat diharamkan kehadiran pemantau Pemilu independen.
Rendahnya Anggota Perempuan
Keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggaraan pemilu bukan lagi hal yang aneh, karena peran perempuan dalam lembaga-lembaga pemerintahan merupakan salah satu bentuk dari kemajuan kaum perempuan sekaligus untuk menjawab stigma bagi kalangan perempuan yang masih melekat di masyarakat bahwa perempuan pantasnya menjadi ibu rumah tangga saja.
Disisi lain hal ini sudah diatur dalam aturan perundang-undangan di negara kita tentang ketewakilan perempuan dalam UU. Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan pemilu telah mengamanatkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam keanggotaan KPU dan Bawaslu.
Namun lagi-lagi peluang tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh perempuan, terbukti hanya satu orang perempuan yang menjadi komisoner di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2012-2017.
Wakil Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI Anna Magret mengatakan ada beberapa hal yang menjadi kendala rendahnya jumlah anggota perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu.
Pertama, ketidak setaraan terhadap perempuan dalam proses pendaftaran.
Kedua, perempuan cenderung dihadapkan pada sejumlah hal yang lebih rumit terkait karirnya di ranah publik.
Ketiga, dituntut untuk berada di ranah domestik dengan perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga.
Keempat, pada umumnya perempuan memiliki jejaring yang lebih terbatas dibandingkan laki-laki.
Beberapa kendala diatas bukanlah hal yang bersinggungan dengan murninya kemampuan perempuan, melainkan anggapan-anggapan negatif yang masih melekat dan hal itu sudah bisa terbantahkan oleh kualitas perempuan masa kini yang sudah mulai menekuni dunia pendidikan sampai pada jenjang paling tinggi di tingkatan universitas. Akses jaringan bisa dibenahi dengan mulai membangun relasi dalam lingkup sosial maupun tatanan pemerintahan bahkan peranan perempuan kini bukan hanya fokus di ruang lingkup keluarga, saat ini banyak wanita yang lebih memilih peran ganda seorang perempuan, satu sisi sebagai istri dan ibu rumah tangga dan dissi yang lain sebagai wanita karir.
Seharusnya tim seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu memastikan proses dan hasil seleksi memenuhi keterwakilan perempuan sesuai dengan UU. Nomor 15 Tahun 2011 agar tidak muncul stigma deskriminasi terhadap kaum perempuan.
Urgensi Pengawasan Pemilu
Sistem demokrasi modern menghendaki pemilu tidak hanya diselenggarakan sebagai ritual suksesi kepemimpinan semata, melainkan Pemilu diharapkan benar-benar menjadi aktualisasi dan manifestasi kedaulatan rakyat. Penyelenggara pemilu merupakan nahkoda dari Pemilu yang menentukan bagaimana dan ke arah mana Pemilu akan berlabuh.
Salah satu instrumen menegakkan keadilan pemilu yakni melalui penegakan hukum yang mengatur mekanisme dan penyelesaian yang efektif. Untuk mengakomodasi hal tersebut maka kerangka hukum yang ada mesti menjamin pemilih, kandidat dan partai untuk mengadukan setiap pelanggaran kepada lembaga penyelenggara atau pengadilan dengan segera memperoleh penanganan dan penyelesaian.
Pengawasan Pemilu yang efektif dipercaya sebagai instrumen yang mampu menghadirkan jaminan atas pelaksanaan pemilu yang demokratis. Praktik pengawasan pemilu memiliki beberapa sifat yang berbeda, tergantung dari siapa yang melakukan, sejauh mana kewenangan yang dimiliki dan cakupan dari pengawasannya.
Secara umum praktik pengawasan Pemilu dibedakan menjadi tiga tipologi, antara lain:
Pertama, Electoral Observation, tugas dari observer sebatas mengumpulkan informasi seputar pelaksanaan pemilu dan memberikan simpulan atas pelaksanaan pemilu dengan memberikan penilaian terhadap proses penyelenggaraan.
Kedua, Electoral Monitoring, praktik pengawasan ini sudah memiliki otoritas atas legitimasi untuk melakukan pengamatan pada pelaksanaan pemilu dan memiliki kewenangan untuk mengintervensi proses jika ada norma pemilu yang dilanggar.
Ketiga, Electoral Supervisory adalah lembaga pengawas pemilu. Jika dibandingkan dengan observer dan pemantau pemilu, pengawas pemilu memiliki tugas dan kewenangan yang lebih kompleks. Karena pengawas pemilu merupakan lembaga resmi yang dibentuk oleh negara dan memiliki tugas khusus untuk melakukan pengawasan pemilu.
Prestasi dan keterampilan kaum perempuan yang tinggi telah berhasil membuktikan bahwa perempuan memiliki banyak persamaan dengan laki-laki terlepas dari ikatan suami-istri. Dengan kemampuannya tersebut perempuan dapat memiliki peran ganda yaitu menjadi ibu rumah tangga sekaligus seorang istri dan menjadi perempuan berkarir yang mampu menyaingi kaum lelaki di kancah perpolitikan.
Dengan demikian persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal terutama dalam kepemimpinan dan peranannya dalam kehidupan politik di negara kita perlu terus diupayakan, dalam artian partisipasi perempuan agar benar-benar keberadaannya dapat diperhitungkan dan penegakan keadilan utamanya dalam sistem demokrasi harus menjadi garda paling depan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap kaum perempuan.